Silman effandy adalah seorang yang selalu berpakaian rapi, jangkung dan tampan, tiga puluh lima tahun usianya, dengan kumis yang melengkung panjang, mengenakan kaus kaki sutra dan sepatu dari kulit asli. Di tanganya yang halus ia membawa sebuah tongkat jalan berkepala emas berhiaskan permata. Ia makan di restoran yang paling mahal dengan fasilitas termodern. Dengan keretanya yang hebat, di tarik oleh kuda-kuda keturunan murni, ia melaju di sepanjang jalan-jalan utama.
Kekayaan Silman Effandy bukan warisan dari orang tuanya, yang ( semoga jiwanya mendapat kedamaian ) adalah seorang miskin. Tidak pula Silman Effandy mengumpulkan kekayaanya dengan kelicikan maupun kemampuan berdagang. Ia seorang pemalas dan membenci segala pekerjaan, menganggap kerja sebagai merendahkan derajat.
Sekali waktu kami mendengar ia berkata " Tubuh dan sifatku tidak cocok untuk bekerja, kerja adalah untuk orang-orang yang bersifat kasar dan bertubuh keras."
Lalu bagaimanakah Silman Effandy memperoleh harta kekayaanya? dengan keajaiban apa debu di tanganya bisa berubah menjadi emas dan perak?
ini adalah rahasia yang terpendam di dalam tahi kambing berlapis perak yang telah di perlihatkan oleh Ezrael, sang malaikat maut kepada kami, dan sekarang kami akan mengungkapkanya kepadamu.
Lima tahun lalu Silman Effandy menikahi seorang wanita bernama Fahima, janda dari Betros Namaan, yang masyhur karena keramahan, ketekunan, dan kerja keras.
Fahima kala itu sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih bergaya dan berperilaku layaknya gadis berusia tujuh belas. Sekarang ia sedang mencuci rambutnya dan dengan menggunakan kosmetik, ia menjaga dirinya tetap muda dan cantik.
Ia belum melihat Silman, suaminya yang muda itu, kecuali sesudah tengah malam ketika ia menanggapinya dengan agak menghina, dengan perilaku yang vurgar serta perlakuan tidak sopan saat percakapan.
Namun semua perlakuan itu, di tambah gerak alis matanya yang manis, oleh Silman Effandy dipercaya sebagai pemberian hak kepadanya untuk membelanjakan uang yang telah dikumpulkan suaminya yang dulu.
Adib Effandy adalah seorang muda berumuh dua puluh tujuh tahun, di anugerahi dengan hidung yang besar, mata sipit, wajah yang kotor, tangan belepotan dan kuku-kuku jari yang hitam dekil. Pakaianya yang coreng-moreng penuh minyak, lemak dan bubuk kopi.
Penampilanya yang buruk bukan karena kemiskinan Adib Effandy, namun karena ia di penuhi pikiran-pikiran teologi dan spiritual. Ia sering kali mengutip ungkapan Amin El-Jundy Bahwa seorang pemikir tidak dapat sekaligus menjadi bersih dan pandai.
Dalam bicaranya yang tak putus--putus, Adib Effandy tidak pernah mengatakan selain meminta pendapat tentang dirinya dari orang lain. Dalam penelitian kami bahkan menjumpai bahwa Adib Effandy telah menghabiskan waktu selama dua tahun di Beirut untuk mempelajari retorika.
Ia menulis banyak puisi, esai, dan artikel, namun belum ada yang di terbitkan. Alasan kesulitanya mendapatkan penerbit adalah karena kemerosotan penerbit dan kebodohan khalayak pembaca di dunia.
Baru-baru ini Adib Effandy menyibukan diri mempelajari filsafat jaman kuno maupun baru. Ia menggagumi Socrates dan Nietszche, dan ia menguasai ucapan-ucapan baik St. Agustinus, Voltaire maupun Rousseau.
Di sebuah pesta perkawinan kami mendengar ia sedang mendiskusikan tentang Hamlet, namun pembicaraanya tampak seperti sebuah monolog, karena semua orang sedang sibuk menikmati minuman dan menari.
Pada kesempatan yang lain, di pemakaman, objek pembicaraanya adalah syair-syair cinta Ben Al-Farid dan anggurisme Abun Nawas. Namun para pengunjung segera melupakanya, tenggelam dalam kesedihan.
Mengapa, kita sering kali bertanya, ada orang seperti Adib? apa guna segala buku-buku yang ia hafal dan tumpukan segala kertas penuh debu? Bukankah ia lebih baik membeli seekor keledai dan menjadi sais yang berguna.
Inilah rahasia yang tersimpan di dalam tahi kambing kambing berlapis perak yang di ungkapkan oleh Baal Zabul dan sekarang kami sampaikan kepadamu.
Tiga tahun yang lalu, Adib Effandy menggubah sebuah syair untuk dipersembahkan kepada yang Mulia Bishop Joshep Shamoun. Yang mulia berkenan meletakkan di anganya di pundak Adib Effandy, sambil tersenyum dan berkata, "Bagus sekali anakku, Tuhan memberkatimu! Aku yakin akan kecerdasanmu, dan suatu saat nanti engkau akan menjadi salah satu orang besar di timur."
Farid bey, adalah seorang pria menjelang empat puluhan, tinggi, dengan kepala kecil dan mulut yang lebar, dengan kening yang sempit dan botak yang melebar ke puncak kepala. Ia berjalan dengan gaya angkuh, membusungkan dada dan menjulurkan lehernya yang panjang seperti unta.
Dari suaranya yang lantang dan nada yang angkuh, engkau mungkin akan membayangkanya (jika belum pernah berjumpa denganya) seperti seorang menteri dari sebuah kerajaan besar yang tenggelam dalam urusan rakyat banyak.
Namun farid tidak memiliki pekerjaan, selain menghitung-hitung dan memuja-muja kehebatan nenek moyangnya. Ia sangat senang mengutip ucapan orang-orang terkenal, dan menceritakan kehebatan para pahlawan seperti Napoleaon dan Antar.
Ia juga kolektor berbagai senjata yang ia sama sekali tak pernah belajar menggunakanya.
Salah satu pepatahnya adalah bahwa Tuhan telah menciptakan dua jenis kelompok manusia yang berbeda, para pemimpin dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Pepatah yang lain adalah bahwa masyarakat itu seperti keledai-keledai dungu yang tak beranjak tanpa dicambuk terlebih dahulu.
Yang lain lagi, bahwa pena berguna bagi orang yang lemah dan pedang bagi yang kuat.
Apa gerangan yang menyebabkan farid membualkan nenek moyangnya serta berperilaku seperti sekarang?
Inilaha rahasia yang terpendam dibalik tahi kambing berlapis perak yang diungkapkan Satanael kepada kami, dan sekarang, giliranya, akan kami ungkapkan kepadamu.
Pada dekade abad kesembilan belas, ketika Emir Bashir, gubernur agung gunung lebanon, bersama rombonganya melewati lembah orang-orang Lebanon.
Mereka singgah di desa di mana Mansour Davis, kakek Farid, tinggal.
Hari itu adalah hari yang sangat panas, sang Emir turun dari kuda dan memerintahkan para pengikutnya untuk berteduh di bawah bayangan sebatang pohon oak.
Mansour Davir yang mengetahui kedatangan Emir, memanggil para petani tetangganya, dan berita baik ini segera menyebar ke seluruh desa.
Di pimpin oleh Mansour, orang-orang desa membawa anggur, buah ara, kendi-kendi air, madu, arak, dan susu untuk sang Emir.
Ketika mereka sampai di pohon oak, Mansour berlutut di hadapan Emir dan mencium ujung jubahnya.
kemudian ia berdiri dan menyembelih seekor domba untuk kehormatan sang Emir, sambil berkata, " Domba ini adalah kemurahanmu, wahai pangeran dan pelindung kami."
Emir yang sangat terkesan dengan penghormatan tersebut, berkata kepadanya, "Dengan ini engkau aku angkat sebagai kepala desa ini, yang aku bebaskan dari pajak untuk tahun ini."
Malam itu setelah Emir pergi, para penduduk desa berkumpul di rumah "Syeikh" Mansour Davis dan mengikrarkan kesetiaan kepada sang syeikh yang baru diangkat.
Semoga Tuhan mengampuni jiwa-jiwa mereka.
Terlalu banyak rahasia yang terkandung di alam tahi kambing berlapis perak tersebut untuk diungkapkan semuanya.
Para iblis dan setan-setan mengungkapkan beberapa di antaranya kepada kami, siang dan malam yang kami bagikan kepadamu sebelum sang malaikat maut merengut kami di bawah sayap-sayapnya dan membawa kami jauh ke seberang sana.
Karena sekarang sudah larut malam dan matak kamis sudah semakin erat, izinkan kami untuk membawa diri ke peraduan, barangkali seorang bidadari dari alam mimpi yang akan membawa jiwa-jiwa kami ke sebuah dunia yang lebih bersih dari yang ada ini.